Permasalahan yang dialami praktisi guru Bimbingan dan Konseling (BK) di lapangan selama ini adalah dalam pengembangan program BK masih bersifat konvensional. Program BK konvensional yang dimaksud adalah suatu program BK yang berfokus pada upaya-upaya penanganan masalah siswa. Kondisi ini telah berlangsung puluhan tahun hingga sekarang atau sejak program BK secara formal dicanangkan di sekolah pada tahun 1975 untuk SMP dan tahun 1976 untuk SMA. Tidak terlalu disalahkan, jika sebagian besar anggota masyarakat bahkan para guru dan siswa masih memandang bahwa BK di sekolah tempat menampung dan mengatasi anak-anak bermasalah.

Didukung lagi oleh kondisi dimana para guru BK baik di jenjang pendidikan SMP maupun SMA lebih dalam mengembangkan program lebih menekankan fungsi kuratif. Program BK berorientasi pada fungsi kuratif yaitu program disusun untuk tujuan penanganan masalah siswa melalui kegiatan layanan responsif. Sementara fungsi developmental dan preventif BK yang seharusnya diutamakan, namun tidak menjadi prioritas. Hal ini terjadi karena dasar penyusunan program BK lebih berbasis pada data hasil asesmen tentang masalah-masalah yang dialami para siswa. Instrumen asesmen yang sering digunakan untuk maksud pengembangan program tersebut adalah AUM (Alat Ungkap Masalah) dan DCM (Daftar Cek Masalah).

Jika diperhatikan bahwa sistem pendidikan secara umum bertujuan untuk mengembangkan potensi dan membekali siswa agar dapat berkembang secara optimal baik secara kognitif (akademik), afektif personal, dan keterampilan. Oleh sebab itu dalam sistem pendidikan di sekolah ada dua program utama yaitu program pembelajaran dan program bimbingan dan konseling (Gysbers dan Henderson, 2012). Program pembelajaran menekankan pada bidang ilmu pengetahuan dasar (mata pelajaran) dan penyiapan pekerjaan bagi siswa, sedangkan program bimbingan dan konseling menekankan pada perkembangan akademik, pribadi-sosial, dan karier siswa.

Pada program pembelajaran, Kementerian Pendidikan dalam hal ini Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) telah menyediakan seperangkat kurikulum 2013 untuk penyelenggaraan pendidikan di jenjang SD, SMP, SMA, dan SMK. Perangkat Kurikulum 2013 meliputi: Kurikulum Formal (mata pelajaran), Buku Penunjang, Rencana Persiapan Pembelajaran (RPP), Panduan Sistem Evaluasi, dan Materi Pendukung. Kebijakan dan regulasi tersebut tidak terdapat pada program BK. Program BK tidak memiliki kurikulum formal sebagaimna program pembelajaran.

Tahun 2016 Dirjen GTK menerbitkan Panduan Operasional Penyelenggaraan (POP) BK untuk jenjang SD, SMP, SMA, dan SMK. Dalam POP tersebut. Kurikulum Formal Bimbingan atau standar kompetensi siswa tidak secara eksplisit tercantum dalamnya, sehingga guru BK mengalami kebingungan apa dan bagaimana mengembangkan kompetensi siswa di bidang akademik, pribadi, sosial, karier maupun spiritual-religiusitas siswa. Sementara dalam SP-BKK terdapat elemen isi (standar kompetensi siswa) yang merupakan satu dari empat elemen dalam SP-BKK. Elemen isi adalah standar kompetensi siswa yang hendak dikembangkan di setiap kelas dan jenjang sekolah. Standar kompetensi meliputi standar kompetensi akademik, pribadi-sosial, dan karier. Di Negara-negara bagian seperti Dakota, Conecticut, State of Utah mengembangkan elemen isi atau standar kompetensi tersebut mengacu pada model standar kompetensi yang dikembangkan oleh American School Counselor Asosiation (ASCA) tahun 2005. Standar kompetensi tersebut menjadi acuan dalam penyelenggaraan program BK, khususnya negara yang menganut sistem pendidikan barat, termasuk Indonesia. Namun standar kompetensi tersebut BK belum dikembangkan menjadi Kurikulum BK di sekolah Indonesia.

Legowo, dkk (2018) dalam penelitian tahun pertamanya telah mengembangkan lima kompetensi, kompetensi dasar, indikator-indikatornya (Kurikulum formal bidang BK). Lima Standar kompetensi siswa yang dimaksud yaitu standar kompetensi akademik, pribadi, sosial, karir, dan religius-spiritualitas. Bilamana Kurikulum formal bidang BK inilah sebagai dasar dalam pengembangan program BK di sekolah, maka program BK akan lebih berfungsi developmental (pengembangan) dan preventif (pencegahan) alih-alih fungsi kuratif (pengatasan) masalah.

Merujuk pada analisis situasi tersebut, maka program BK di sekolah baik di jenjang SMP maupun SMA saat sekarang ini lebih mendasarkan pada upaya-upaya pengatasan masalah alih-alih mengembangkan potensi kepribadian (standar kompetensi siswa). Bilamana kondisi seperti ini terus berlanjut maka mindset pengawas SMP dan SMA, kepala sekolah SMP dan SMA, guru BK SMP dan SMA, para siswa SMP dan SMA, para stake holder, bahkan masyarakat pada umumnya akan mempersepsi bahwa program BK berfungsi kuratif (menangani masalah-masalah) siswa saja alih-alih mengembangkan potensi dan standar kompetensi dan kepribadian siswa. Oleh sebab itu diperlukan upaya-upaya untuk mengubah mindset mereka melalui kegiatan workshop dan pendampingan pengembangan program BK berbasis standar kompetensi siswa,

Melalui pendampingan dan workshop mengenai pengembangan program dan kurikulum bimbingan dan konseling komprehensif, diharapkan guru Bimbingan dan Konseling sebagai praktisi di lapangan dapat menyusun program yang sesuai dan tepat sasaran dalam upaya membantu peserta didik mengoptimalkan potensi yang telah dimiliki.